Begitulah bunyi pepatah aceh tentang adat dan budaya kabupaten nagan raya. Nagan Raya yang merupakan salah satu kabupaten yang berada di bagian barat Provinsi Aceh, dan lahir sebelas tahun silam, yang berusaha keras melestarikan adat dan budaya.
Berbeda dengan kabupaten lainnya yang lahir karena sejarah maupun kisah-kisah di masa lampau, kabupaten nagan raya lahir berdasarkan undang-undang nomor 4 tahun 2002, tepatnya pada tanggal 22 juli 2002 sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat.
Daerah ini juga sangat dikenal dengan adat istiadatnya. Dan nagan raya ini juga kaya akan warisan leluhur yang sampai sekarang menjadi daya tarik tersendiri, khususnya pada bidang adat dan budaya.
Kabupaten Nagan Raya berada di pantai barat Sumatra yang subur dan sangat cocok bagi pertanian, khususnya padi yang terpusat di Kecamatan Seunagan, Seunagan Timur, dan Beutong karena ditunjang oleh Sungai Krueng Beutong dan Sungai Krueng Nagan yang mengalir di wilayah tersebut.
Potensi lainnya adalah usaha peternakan dan perkebunan terutama kelapa sawit. Karena sumber daya pertaniannya yang melimpah, maka Nagan Raya dikenal sebagai salah satu lumbung beras utama di Aceh. Bahkan Soeharto, mantan presiden RI pernah berkunjung ke Nagan Raya, sebagai apresiasinya terhadap pertumbuhan hasil pertanian di daerah tersebut (tahun 1987).
Sebelum adanya gangguan keamanan pada masa konflik Aceh, Nagan Raya menjadi pusat bagi transmigran yang menghidupkan sektor pertanian di kawasan ini. Namun setelah tahun 2001 banyak transmigran yang meninggalkan unit-unit permukimannya karena gangguan dan ancaman dari kelompok sipil bersenjata. Diharapkan setelah kondisi keamanan membaik, para transmigran kembali untuk menyemarakkan perekenomian Nagan Raya, dari sejak kabupaten tersebut belum genap berusia 2 tahun ini.
Kebudayaan Nagan Raya lahir karna kebiasaan masyarakat dalam hal-hal tertentu seperti, Turun Anak, Kenduri Blang, Kenduri Laot, Pesta Perkawinan, Kematian dan lain-lain.
Dalam kebudayaan perkawinan masyarakat Nagan Raya sering membuat pesta dengan mengundang tari-tarian seperti ranup lampuan dengan simbul penerimaan calon mempelai, seperti Seudati, Rapai Saman, Daboh, ini lebih ke hiasan malam untuk menghiburkan para tamu yang hadir, kesenian Nagan Raya berlandaskan syariat islam tanpa menyimpang dari agama islam.
Kebiasaan ini masih berlangsung hingga sekarang bahkan kebanyakan dari pihak pendidikan seperti SD, SMP, SMA, mengundang guru/gure untuk mengajarkan kesenian seperti ini bahkan pemerintah nagan raya sering membuat perlombaan kesenian dan adat istiadat tingkat kabupaten, sehingga masyarakat lebih tertarik dalam mempelajari kebudayaan ini, selain untuk menghibur para tamu undangan kesenian juga mempaparkan syair-syair yang islamiah membuat penonton tidak bosan mendengarnya dan membuktikan kesenian juga bisa menyebarkan syariat islam.
Berbeda dengan wilayah-wilayah lain, nagan raya memiliki adat tersendiri dimana adat adat tersebut tidak dimiliki oleh wilayah wilayah lain.
Salah satunya adalah pada saat seseorang ingin menikah dan pada prosesi pemakaian inai yang dikenal dengan boh gaca. adat bouh gaca yang dipraktekkan kabupaten Nagan Raya dimulai dari peusijuk bate (alat penggilingan henna), peusijuk dara baroe oleh keluarga sebelah ibu dan ayah. Baru kemudian dilakukan prosesi bouh kaca di kaki dan tangan dara baroe.
Saat bouh gaca, dara baroe memakai pakaian adat klasik dan duduk diatas pelamin yang telah dihias dengan hiasan adat Aceh. Berbeda dengan daerah lain, dalam adat bouh gaca kabupaten Nagan Raya ada pemberian cendramata kepada dara baroe setelah dipeusijuk (tepungtawari), cendramata berupa emas itu diberikan oleh pihak keluarga sebelah ibu dan ayah.
Nagan raya juga dikenal sebagai surganya sawit.Sawit adalah komoditi impor yang banyak di Nagan Raya, hampir semua masyarakat Nagan Raya mempunyai kebun sawit atau bekerja di perkebunan sawit. Sepanjang jalan di beberapa wilayah di Nagan Raya samping kiri dan kanan ditanami sawit, sehingga jika hari sudah malam tidak banyak masyarakat Nagan Raya yang berkeliaran di luar rumah karena suasana sawit yang rimbun menutupi jalan. Selain sawit nagan raya juga dikenal dengan adat mempertahankan tradisi peulheuh kaoi atau menunaikan nazar. Mereka percaya, dengan bernazar dapat dimudahkan dalam berbagai urusan duniawi.
Banyak tempat di Aceh dianggap sakral untuk bernazar, ada kuburan para ambiya, ulama karismatik. Bahkan, masjid yang identik dengan tempat melakukan kegiatan keagamaan, terutama melaksanakan shalat lima waktu secara berjamaah, juga dijadikan tempat bernazar. Masjid Jamik Syaikhunna atau lebih dikenal dengan nama Mesjid Gudang Buloh. Masjid ini berada di Gampong Ujong Pasi, Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagan Raya, Aceh.
Masjid yang terletak di pinggir Jalan Meulaboh-Aceh Selatan ini, ramai dikunjungi warga yang ingin menunaikan nazar, terutama di hari-hari libur. Masyarakat datang dari berbagai daerah di Aceh, luar Aceh, bahkan dari negeri jiran, Malaysia.
Biasanya, warga bernazar shalat dua rakaat dan memberikan sedekah seiklasnya. Namun, ada juga yang bernazar masak kuah kambing, memberi beras, hewan peliharaan pada penjaga atau khatam Masjid Gudang Buloh. Begitu sampai disana, warga yang ingin menunaikan nazar sudah disambut oleh khatam masjid. Warga diarahkan melakukan berbagai macam ritual sesuai nazar yang ingin ditunaikan.
Saat memasuki perkarangan masjid, warga diharuskan membasuh dan minum air dalam bak yang telah disediakan. Air ini dipercaya bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit, dan menghindari dari berbagai cobaan dan bahaya. Itu sebabnya, banyak warga yang mengambil air tersebut untuk dibawa pulang. Selesai disana, warga diarahakan masuk dalam masjid untuk shalat nazar, dan membakar kemenyan di satu tiang masjid yang berbeda ditengah.
Disitu, sudah disediakan kemenyan, korek dan tempat bakar yang terbuat dari logam berat. Selanjutnya, warga diperkenankan menggunakan dapur umum di dalam perkarangan masjid, untuk memasak kuah kambing dan makan bersama-sama, sebelum kembali pulang.
Seiring perkembangan zaman yang mulai pesat banyak pula yang abai bahkan melupakan adat istiadat. Seperti saat melansungkan prosesi pernikahan,kebanyakan dari masyarakat itu sendiri mengikuti gaya yang sedang trending dan marak di bicarakan dan melupakan adat adat yang telah di wariskan oleh lehuhur.
Penulis berharap agar adat ini tidak akan hilang dan tetap bias dipertahankan oleh masyarakat khususnya para muda mudi yang akan meneruskan serta mengembangkan adat tersebut. Karena pemimpin yang baik lahir dari seorang pemuda. Jadi sangat di sayangkan apabila pemuda itu sendiri melupakan warisan nenek moyangnya.
Pengirim :
Roza Yusniar
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN AR Raniry
Foto : Youtube |
Daerah ini juga sangat dikenal dengan adat istiadatnya. Dan nagan raya ini juga kaya akan warisan leluhur yang sampai sekarang menjadi daya tarik tersendiri, khususnya pada bidang adat dan budaya.
Kabupaten Nagan Raya berada di pantai barat Sumatra yang subur dan sangat cocok bagi pertanian, khususnya padi yang terpusat di Kecamatan Seunagan, Seunagan Timur, dan Beutong karena ditunjang oleh Sungai Krueng Beutong dan Sungai Krueng Nagan yang mengalir di wilayah tersebut.
Potensi lainnya adalah usaha peternakan dan perkebunan terutama kelapa sawit. Karena sumber daya pertaniannya yang melimpah, maka Nagan Raya dikenal sebagai salah satu lumbung beras utama di Aceh. Bahkan Soeharto, mantan presiden RI pernah berkunjung ke Nagan Raya, sebagai apresiasinya terhadap pertumbuhan hasil pertanian di daerah tersebut (tahun 1987).
Sebelum adanya gangguan keamanan pada masa konflik Aceh, Nagan Raya menjadi pusat bagi transmigran yang menghidupkan sektor pertanian di kawasan ini. Namun setelah tahun 2001 banyak transmigran yang meninggalkan unit-unit permukimannya karena gangguan dan ancaman dari kelompok sipil bersenjata. Diharapkan setelah kondisi keamanan membaik, para transmigran kembali untuk menyemarakkan perekenomian Nagan Raya, dari sejak kabupaten tersebut belum genap berusia 2 tahun ini.
Kebudayaan Nagan Raya lahir karna kebiasaan masyarakat dalam hal-hal tertentu seperti, Turun Anak, Kenduri Blang, Kenduri Laot, Pesta Perkawinan, Kematian dan lain-lain.
Dalam kebudayaan perkawinan masyarakat Nagan Raya sering membuat pesta dengan mengundang tari-tarian seperti ranup lampuan dengan simbul penerimaan calon mempelai, seperti Seudati, Rapai Saman, Daboh, ini lebih ke hiasan malam untuk menghiburkan para tamu yang hadir, kesenian Nagan Raya berlandaskan syariat islam tanpa menyimpang dari agama islam.
Kebiasaan ini masih berlangsung hingga sekarang bahkan kebanyakan dari pihak pendidikan seperti SD, SMP, SMA, mengundang guru/gure untuk mengajarkan kesenian seperti ini bahkan pemerintah nagan raya sering membuat perlombaan kesenian dan adat istiadat tingkat kabupaten, sehingga masyarakat lebih tertarik dalam mempelajari kebudayaan ini, selain untuk menghibur para tamu undangan kesenian juga mempaparkan syair-syair yang islamiah membuat penonton tidak bosan mendengarnya dan membuktikan kesenian juga bisa menyebarkan syariat islam.
Berbeda dengan wilayah-wilayah lain, nagan raya memiliki adat tersendiri dimana adat adat tersebut tidak dimiliki oleh wilayah wilayah lain.
Salah satunya adalah pada saat seseorang ingin menikah dan pada prosesi pemakaian inai yang dikenal dengan boh gaca. adat bouh gaca yang dipraktekkan kabupaten Nagan Raya dimulai dari peusijuk bate (alat penggilingan henna), peusijuk dara baroe oleh keluarga sebelah ibu dan ayah. Baru kemudian dilakukan prosesi bouh kaca di kaki dan tangan dara baroe.
Saat bouh gaca, dara baroe memakai pakaian adat klasik dan duduk diatas pelamin yang telah dihias dengan hiasan adat Aceh. Berbeda dengan daerah lain, dalam adat bouh gaca kabupaten Nagan Raya ada pemberian cendramata kepada dara baroe setelah dipeusijuk (tepungtawari), cendramata berupa emas itu diberikan oleh pihak keluarga sebelah ibu dan ayah.
Nagan raya juga dikenal sebagai surganya sawit.Sawit adalah komoditi impor yang banyak di Nagan Raya, hampir semua masyarakat Nagan Raya mempunyai kebun sawit atau bekerja di perkebunan sawit. Sepanjang jalan di beberapa wilayah di Nagan Raya samping kiri dan kanan ditanami sawit, sehingga jika hari sudah malam tidak banyak masyarakat Nagan Raya yang berkeliaran di luar rumah karena suasana sawit yang rimbun menutupi jalan. Selain sawit nagan raya juga dikenal dengan adat mempertahankan tradisi peulheuh kaoi atau menunaikan nazar. Mereka percaya, dengan bernazar dapat dimudahkan dalam berbagai urusan duniawi.
Banyak tempat di Aceh dianggap sakral untuk bernazar, ada kuburan para ambiya, ulama karismatik. Bahkan, masjid yang identik dengan tempat melakukan kegiatan keagamaan, terutama melaksanakan shalat lima waktu secara berjamaah, juga dijadikan tempat bernazar. Masjid Jamik Syaikhunna atau lebih dikenal dengan nama Mesjid Gudang Buloh. Masjid ini berada di Gampong Ujong Pasi, Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagan Raya, Aceh.
Masjid yang terletak di pinggir Jalan Meulaboh-Aceh Selatan ini, ramai dikunjungi warga yang ingin menunaikan nazar, terutama di hari-hari libur. Masyarakat datang dari berbagai daerah di Aceh, luar Aceh, bahkan dari negeri jiran, Malaysia.
Biasanya, warga bernazar shalat dua rakaat dan memberikan sedekah seiklasnya. Namun, ada juga yang bernazar masak kuah kambing, memberi beras, hewan peliharaan pada penjaga atau khatam Masjid Gudang Buloh. Begitu sampai disana, warga yang ingin menunaikan nazar sudah disambut oleh khatam masjid. Warga diarahkan melakukan berbagai macam ritual sesuai nazar yang ingin ditunaikan.
Saat memasuki perkarangan masjid, warga diharuskan membasuh dan minum air dalam bak yang telah disediakan. Air ini dipercaya bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit, dan menghindari dari berbagai cobaan dan bahaya. Itu sebabnya, banyak warga yang mengambil air tersebut untuk dibawa pulang. Selesai disana, warga diarahakan masuk dalam masjid untuk shalat nazar, dan membakar kemenyan di satu tiang masjid yang berbeda ditengah.
Disitu, sudah disediakan kemenyan, korek dan tempat bakar yang terbuat dari logam berat. Selanjutnya, warga diperkenankan menggunakan dapur umum di dalam perkarangan masjid, untuk memasak kuah kambing dan makan bersama-sama, sebelum kembali pulang.
Seiring perkembangan zaman yang mulai pesat banyak pula yang abai bahkan melupakan adat istiadat. Seperti saat melansungkan prosesi pernikahan,kebanyakan dari masyarakat itu sendiri mengikuti gaya yang sedang trending dan marak di bicarakan dan melupakan adat adat yang telah di wariskan oleh lehuhur.
Penulis berharap agar adat ini tidak akan hilang dan tetap bias dipertahankan oleh masyarakat khususnya para muda mudi yang akan meneruskan serta mengembangkan adat tersebut. Karena pemimpin yang baik lahir dari seorang pemuda. Jadi sangat di sayangkan apabila pemuda itu sendiri melupakan warisan nenek moyangnya.
Pengirim :
Roza Yusniar
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN AR Raniry