Notification

×

Iklan

Iklan

Tantangan Menjadi Orang Tua di Era Revolusi Industri 4.0

Kamis, 12 Desember 2019 | Desember 12, 2019 WIB | 0 Views Last Updated 2019-12-12T04:53:45Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik
Menjadi orangtua memang tidak semudah yang dibayangkan. Banyak tugas sebagai orangtua yang sangat perlu diperhatikan dalam mendidik anak-anaknya. Tentunya persoalan mendidik anak tidak hanya menjadi peran guru di sekolah saja, namun peran orangtua sangat menentukan bagaimana pembentukan kepribadian anak mereka. 

Foto : Ilustrasi
Di era revolusi industri 4.0 sekarang ini, dimana teknologi canggih sangat berkembang pesat dan hampir semua orang tentunya memiliki itu, seperti handphone, komputer, tv, dan sebagainya yang memiliki manfaat yang beragam pula. Salah satu dampak positif dari teknologi ini adalah sebagai alat untuk berbagi informasi dan komunikasi yang memudahkan individu dalam berinteraksi dengan orang lain. 

Di samping itu, dampak negatif pun juga beragam, seperti: kecanduan gadget yang menyebabkan keluarga disharmonis, sehingga masing-masing individu dalam sebuah keluarga tidak lagi memiliki perhatian satu sama lainnya dan sibuk dengan gadget masing-masing; tergerusnya peradaban generasi, sehingga sopan-santun (etika) dalam berelasi atau berhubungan sosial menjadi satu hal yang perlu dibenahi. Hal inilah yang menjadi tugas berat bagi tiap-tiap orangtua di era modern ini dalam mendidik anak-anak mereka. 

Di era modern ini, orangtua sebenarnya dituntut untuk mampu mengikuti perkembangan teknologi. Namun, dibalik itu ada hal yang harus dipahami setiap orangtua, yakni attention (perhatian). Perhatian disini bukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan berupa materi saja, tapi perhatian terhadap anak itu ditunjukkan dengan memberikan nasehat atau bimbingan dalam berperilaku, sehingga dalam perkembangannya anak mampu melewati berbagai permasalahannya secara mandiri dan bijak sebagaimana orangtua-nya mendidiknya.

Buruknya perilaku anak sebenarnya karena kesalahan orangtua-nya dalam mendidik anaknya, namun kebanyakan dari orangtua tidak menyadari hal itu. Ada masa ketika seorang anak sangat butuh orangtua-nya untuk mendengarkannya, malah orangtua-nya sibuk, lebih memperhatikan pekerjaannya dan tidak ada waktu untuk itu. Hal ini sangat berpengaruh buruk bagi perkembangan emosional anak. Anak merasa bahwa orangtua-nya yang paling dekat dengannya tidak menginginkannya atau merasa tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka. Akibatnya, seorang anak ini akan mencari perhatian kepada teman-teman terdekatnya atau orang yang mampu memberi perhatian lebih kepadanya. Jika lingkungan yang didapatkan anak ini termasuk lingkungan buruk, maka akan hal itulah yang akan mendominasi perilakunya. Ahli psikologi, Erik H. Erickson mengatakan bahwa perilaku buruk seorang anak diakibatkan pengaruh buruk lingkungannya, begitupun sebaliknya.  

Selain perhatian dari orangtua, ada hal yang paling penting untuk diajarkan kepada anak agar mereka dapat berperilaku sesuai dengan perkembangannya. Pertama, Perilaku Asertif yaitu kemampuan anak untuk mengatakan tidak tanpa menyakiti orang lain. Chaplin (2002) mengatakan bahwa perilaku asertif merupakan perilaku yang menunjukkan penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain. Dalam hal ini, hal yang perlu diajarkan bagi orangtua kepada anaknya adalah perilaku mengekspresikan pendapat dan tegas dalam memilih perilaku, serta jangan cegah anak untuk mengatakan tidak suka terhadap apa yang benar-benar tidak disukainya, karena hal itu dapat membunuh krativitasnya. 

Setiap anak mempunyai bakat dan minatnya tersendiri, disinilah peran orangtua untuk memahami kesukaan anaknya, misalnya dalam hal belajar dan kesenian, jika anak memiliki minat di bidang melukis, maka jangan paksakan kehendak kita dengan menuntut anak harus berprestasi di bidang akademiknya, karena potensi masing-masing individu berbeda-beda. Dari sinilah kita dapat ajarkan anak bahwa dalam berperilaku, sikap tegas itu sangat diperlukan, seperti menyampaikan pendapatnya dengan cara yang benar tanpa menyakiti orang lain.

 Kedua, Adversity Quotient (AQ) yaitu kemampuan merubah hambatan menjadi peluang atau kesulitan menjadi kemenangan, agar anak tidak mudah putus asa/menyerah dengan hasil yang didapat. Menurut Stoltz (2005), adversity Quotient merupakan kemampuan individu dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan hidup. Dalam hal ini, sikap yang perlu diajarkan orangtua kepada anak adalah bagaimana cara merespon kesulitan yang dihadapi dan meyakini bahwa setiap masalah pasti memiliki solusi, dan untuk menaklukkannya maka individu harus mampu memikirkan lebih dari satu solusi dalam pemecahan masalahnya. Misalnya, ketika seorang anak dihadapkan dengan permasalahan belajarnya seperti banyaknya tugas sekolah, kemudian dia memiliki masalah dengan teman sebayanya, maka disinilah peran orangtua untuk memberikan pengertian agar anak mampu menyelesaikan semua permasalahannya dengan kontrol diri yang tepat. Hal ini dapat membantu perkembangan emosional dan kognitif anak dapat saling berkolaborasi sehingga dapat beradaptasi dengan lingkungannya.

Ketiga, Resiliensi yaitu sebuah proses dimana individu akan mempunyai kemauan untuk bangkit dan mampu bertahan dalam keadaan tertekan atau bangkit dari keterpurukan (Henderson dan Milstein, 2003). Resiliensi dapat menciptakan dan memelihara sikap positif untuk mengeksplorasi diri, sehingga individu menjadi percaya diri ketika berhubungan dengan orang lain, serta lebih berani mengambil resiko atas tindakannya sendiri. 

Dalam hal ini, adapaun tugas kita sebagai orangtua ialah mengajarkan anak untuk berani mengambil resiko, misalnya ketika anak pertama kali berkeinginan untuk masuk sekolah, lalu setelah dijalani beberapa hari dia meminta untuk tidak melanjutkan sekolah, maka sikap tegas dan pengertian orangtua sangat dibutuhkan. Ajarkan anak untuk berani mengambil resiko atas keputusan yang diambilnya dengan cara yang mudah dipahaminya.

Jadi, disinilah peran orangtua dalam mengontrol dan mengawasi sang buah hati. Menjadi orangtua bukan soal siapa kita, tetapi apa yang kita lakukan. Pengasuhan tidak hanya mencakup tindakan tetapi juga mengenai apa yang kita inginkan terhadap buah hati kita dalam mengerti dan menjalani kehidupannya. Perhatian dan kasih sayang merupakan hal yang mendasar bagi anak. Lingkungan rumah selain sebagai tempat berlindung, sebaiknya merangkap sebagai tempat mendapatkan kebutuhan hidup, bergaul, dan tempat untuk mendapatkan rasa aman, mengaktualisasikan diri, dan sebagai wahana membesarkan anak hingga dewasa dalam perkembangan psikologinya. [] 

Pengirim : 
Puti Lenggogeni 
Mahasiswa Psikologi UIN Imam Bonjol, Padang
Email : putilenggogeni2010@gmail.com


×
Berita Terbaru Update