TamiangNews.com, JAKARTA -- Sebuah video berdurasi 39 detik viral di media sosial. Dalam narasi yang beredar di media sosial Facebook tersebut, disebutkan bahwa sang anak kebablasan dalam bersikap terhadap ibunya. Dalam video terlihat seorang perempuan tua yang terbaring sambil mengingatkan seseorang untuk tidak memukuli kepalanya.
Perempuan itu meminta lawan bicaranya untuk bertindak lebih baik karena dirinya adalah orangtua. Namun, tiba-tiba laki-laki yang berbaring di sebelahnya merasa kesal lalu melempar bantal dan terakhir menginjak kepala perempuan tersebut.
Kasus tersebut bahkan sempat membuat kepolisian turun tangan. Dikutip dari keterangan Humas Polrestabes Surabaya melalui akun resmi Facebook-nya, kini sang anak sudah dikembalikan kepada keluarganya dan menangis di pelukan ibunya.
Perangkat dari kasus tersebut Media ini pada Jumat (23/8/2019) mencoba meminta pendapat psikolog tentang kenapa seorang anak bisa tega melakukan hal semacam itu kepada ibunya.
Hening Widyastuti, seorang psikolog dari Solo berpendapat, hal tersebut bisa saja terjadi lantaran sang anak sudah memendam emosinya sejak beberapa lama. Ia juga memperkirakan bahwa sang anak memiliki tingkat spirilitualitas yang kurang baik.
“Kalau dari kecil anak yang dididik dan didampingi dengan pengetahuan agama yang meresap itu perkembangannya umumnya berbeda. Baik ia dari kalangan ekonomi manapun,” tuturnya.
Kedua, Hening menilai faktor lain yang bisa saja mempengaruhi hal tersebut adalah permasalahan pergaulan si anak. Menurutnya lingkungan sangat memegang peranan penting terkait sikap seseorang. “Lingkungan komunitas dia perlu dipertanyakan,” tuturnya.
Menurutnya, hal tersebut bisa saja terjadi ketika pemuda tersebut berada di lingkungan di mana sekitarnya banyak yang gaya hidupnya tinggi sehingga dia menyalahkan dirinya sendiri.
Pertanyaan seperti, ‘kenapa saya harus kekurangan’ pada akhirnya membuat hal tersebut merembet kepada menyalahkan orangtuanya. “Orangtua menjadi simbol sesuatu yang menyebabkan ia tak mendapat sesuatu yang ia inginkan,” kata Hening.
Ia menilai uang Rp 10.000 hanyalah pemicu emosi karna apa yang ia inginkan tak didapat dan hal tersebut bertubi-tubi.
“Keimanan dipertanyakan karena keimanan adalah kedekatan internal kita dengan sang pencipta. Disitulah filter kita tentang sesuatu yang benar dan tak benar,” tuturnya.
Ia juga menyebut, bahwa pola asuh juga sangat berpengaruh pada kedekatan antara orangtua dan anak. Pola asuh sejak kecil bisa berdampak hingga seseorang menginjak dewasa. Hening menekankan kepada orangtua, untuk mendidik anak-anaknya bahkan sejak berada di dalam kandungan.
Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan Psikolog Anak, Seto Mulyadi. Ia menilai bahwa tindakan si anak kemungkinan dipengaruhi dari pendidikan di masa kecilnya. Menurutnya, budaya kekerasan bisa terbentuk sejak seseorang sejak kecil. “Mungkin dari sisi ekonomi tak masalah tapi budaya kekerasan terbentuk sejak mereka masih kecil,” tutur Seto.
Lebih jauh, Seto berpendapat, karena dalam tingkat pendidikan sebaiknya ketika seseorang masih berusia sekolah merekia diberi ruang untuk diapresiasi tak hanya dari sisi akademisnya, namun juga dari sisi minat dan bakatnya.
Pada akhirnya, hal-hal semacam itu bisa mengembalikan seorang anak pada etika, nilai moral dan etetikanya. Hal tersebut karena menurutnya ketika potensi seorang anak tak diakui itu bisa menyebabkan seorang anak frustasi.
Sikap Orang Tua dalam Mendidik Anak
Seto sangat menekankan kepada orang tua untuk tak mendidik anak-anak mereka tanpa kekerasan “Kekerasan pada anak menghasilkan kekerasan saat mereka dewasa. Makanya stop kekerasan pada anak baik atas nama disiplin atau apapun,” tuturnya.
Seto menghimbau agar saat mendidik anak sebaiknya dilakukan dengan penuh persahabatan. Dan harus dengan cara-cara kreatif dalam mendidik mereka.
Sementara itu, Hening memberikan saran kepada para orang tua untuk memberikan pendidikan sejak dalam kandungan dengan pembiasaan orang tua berkata-kata baik saat sang anak di dalam kandungan, memperdengarkan musik klasik, ataupun membacakan doa-doa.
“Saat bayi lahir berlanjut proses pendidikannya untuk mendekatkan psikologis dengan sang ibu mulai dari sentuhan dan ketika menyusui. Sehingga ikatan batin timbul. Pengaruhnya anak cenderung lebih mendengarkan kata kita karna bicara dari hati ke hati,” kata Hening. [] KOMPAS
Foto : Kompas |
Kasus tersebut bahkan sempat membuat kepolisian turun tangan. Dikutip dari keterangan Humas Polrestabes Surabaya melalui akun resmi Facebook-nya, kini sang anak sudah dikembalikan kepada keluarganya dan menangis di pelukan ibunya.
Perangkat dari kasus tersebut Media ini pada Jumat (23/8/2019) mencoba meminta pendapat psikolog tentang kenapa seorang anak bisa tega melakukan hal semacam itu kepada ibunya.
Hening Widyastuti, seorang psikolog dari Solo berpendapat, hal tersebut bisa saja terjadi lantaran sang anak sudah memendam emosinya sejak beberapa lama. Ia juga memperkirakan bahwa sang anak memiliki tingkat spirilitualitas yang kurang baik.
“Kalau dari kecil anak yang dididik dan didampingi dengan pengetahuan agama yang meresap itu perkembangannya umumnya berbeda. Baik ia dari kalangan ekonomi manapun,” tuturnya.
Kedua, Hening menilai faktor lain yang bisa saja mempengaruhi hal tersebut adalah permasalahan pergaulan si anak. Menurutnya lingkungan sangat memegang peranan penting terkait sikap seseorang. “Lingkungan komunitas dia perlu dipertanyakan,” tuturnya.
Menurutnya, hal tersebut bisa saja terjadi ketika pemuda tersebut berada di lingkungan di mana sekitarnya banyak yang gaya hidupnya tinggi sehingga dia menyalahkan dirinya sendiri.
Pertanyaan seperti, ‘kenapa saya harus kekurangan’ pada akhirnya membuat hal tersebut merembet kepada menyalahkan orangtuanya. “Orangtua menjadi simbol sesuatu yang menyebabkan ia tak mendapat sesuatu yang ia inginkan,” kata Hening.
Ia menilai uang Rp 10.000 hanyalah pemicu emosi karna apa yang ia inginkan tak didapat dan hal tersebut bertubi-tubi.
“Keimanan dipertanyakan karena keimanan adalah kedekatan internal kita dengan sang pencipta. Disitulah filter kita tentang sesuatu yang benar dan tak benar,” tuturnya.
Ia juga menyebut, bahwa pola asuh juga sangat berpengaruh pada kedekatan antara orangtua dan anak. Pola asuh sejak kecil bisa berdampak hingga seseorang menginjak dewasa. Hening menekankan kepada orangtua, untuk mendidik anak-anaknya bahkan sejak berada di dalam kandungan.
Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan Psikolog Anak, Seto Mulyadi. Ia menilai bahwa tindakan si anak kemungkinan dipengaruhi dari pendidikan di masa kecilnya. Menurutnya, budaya kekerasan bisa terbentuk sejak seseorang sejak kecil. “Mungkin dari sisi ekonomi tak masalah tapi budaya kekerasan terbentuk sejak mereka masih kecil,” tutur Seto.
Lebih jauh, Seto berpendapat, karena dalam tingkat pendidikan sebaiknya ketika seseorang masih berusia sekolah merekia diberi ruang untuk diapresiasi tak hanya dari sisi akademisnya, namun juga dari sisi minat dan bakatnya.
Pada akhirnya, hal-hal semacam itu bisa mengembalikan seorang anak pada etika, nilai moral dan etetikanya. Hal tersebut karena menurutnya ketika potensi seorang anak tak diakui itu bisa menyebabkan seorang anak frustasi.
Sikap Orang Tua dalam Mendidik Anak
Seto sangat menekankan kepada orang tua untuk tak mendidik anak-anak mereka tanpa kekerasan “Kekerasan pada anak menghasilkan kekerasan saat mereka dewasa. Makanya stop kekerasan pada anak baik atas nama disiplin atau apapun,” tuturnya.
Seto menghimbau agar saat mendidik anak sebaiknya dilakukan dengan penuh persahabatan. Dan harus dengan cara-cara kreatif dalam mendidik mereka.
Sementara itu, Hening memberikan saran kepada para orang tua untuk memberikan pendidikan sejak dalam kandungan dengan pembiasaan orang tua berkata-kata baik saat sang anak di dalam kandungan, memperdengarkan musik klasik, ataupun membacakan doa-doa.
“Saat bayi lahir berlanjut proses pendidikannya untuk mendekatkan psikologis dengan sang ibu mulai dari sentuhan dan ketika menyusui. Sehingga ikatan batin timbul. Pengaruhnya anak cenderung lebih mendengarkan kata kita karna bicara dari hati ke hati,” kata Hening. [] KOMPAS