TamiangNews.com, JAKARTA -- Pengamat siber Pratama Persadha menilai bahwa wacana kebijakan pembatasan terhadap akses media sosial (medsos) dan aplikasi pesan WhatsApp jelang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil Pilpres 2019 perlu dipertimbangkan secara matang.
Pasalnya kondisi sidang MK sengketa Pilpres berbeda dengan kondisi 21 dan 22 Mei yang lalu. Dimana Prabowo telah menghimbau pendukungnya agar tak datang ke sidang MK.
"Belajar dari pembatasan sebelumnya, dalam hitungan beberapa jam saja, mereka yang dianggap rusuh dapat mengakses medsos kembali dengan menggunakan Virtual Private Network (VPN)," kata Pratama melalui pesan singkat kepada SINDOnews, Jumat (14/6/2019).
Dengan pembatasan ini yang paling dirugikan adalah masyarakat luas, terutama pedagang online, atau masyarakat yang menjadikan WhatsApp sebagai bagian dari aktivitas bisnisnya.
Menurutnya, kebijakan pembatasan beberapa fitur medsos ini malah menjadi langkah yang blunder. Pasalnya masyarakat yang sebelumnya tidak mengetahui VPN, akhirnya mereka memanfaatkan VPN untuk mengakali pembatasan tersebut.
"Dari situ masyarakat akhirnya menjadi tahu bagaimana cara mengakali situs atau layanan lainnya yang diblokir pemerintah," tegasnya.
Kendati demikian, jika ingin mencegah peredaran hoaks, menurut Founder sekaligus Chairman Communication & Information System Security Research Center (CISSReC) ini, pemerintah sebaiknya mencari cara lain yang lebih efektif. Misalnya secara cepat memproduksi konten kontra hoaks, ini bisa bersama kolaborasi dengan selebgram maupun publik figur tanah air.
"Karena sebenarnya bermain isu di media sosial salah satu paling efektif dengan kontra narasi dan seharusnya pemerintah punya cukup resource yang sangat baik," ujarnya.
Selain itu untuk program jangka panjang, pemerintah perlu mengembangkan literasi digital agar masyarakat cerdas dalam mencerna informasi.
"Kita tentu berharap, kebijakan seperti ini tidak terulang. Ada ketakutan, bila pembatasan internet kurang efektif, akan dilakukan "pemadaman" internet, hal yang sebaiknya tidak terjadi. Karena sebenarya situasi nasional masih sangat kondusif, apalagi menurut Polri aktor kerusuhan sudah ditangkap, sehingga harusnya potensi chaos dan hoaks sudah bisa diminimalisir," tandasnya. [] SINDONEWS
Foto : Ilustrasi |
"Belajar dari pembatasan sebelumnya, dalam hitungan beberapa jam saja, mereka yang dianggap rusuh dapat mengakses medsos kembali dengan menggunakan Virtual Private Network (VPN)," kata Pratama melalui pesan singkat kepada SINDOnews, Jumat (14/6/2019).
Dengan pembatasan ini yang paling dirugikan adalah masyarakat luas, terutama pedagang online, atau masyarakat yang menjadikan WhatsApp sebagai bagian dari aktivitas bisnisnya.
Menurutnya, kebijakan pembatasan beberapa fitur medsos ini malah menjadi langkah yang blunder. Pasalnya masyarakat yang sebelumnya tidak mengetahui VPN, akhirnya mereka memanfaatkan VPN untuk mengakali pembatasan tersebut.
"Dari situ masyarakat akhirnya menjadi tahu bagaimana cara mengakali situs atau layanan lainnya yang diblokir pemerintah," tegasnya.
Kendati demikian, jika ingin mencegah peredaran hoaks, menurut Founder sekaligus Chairman Communication & Information System Security Research Center (CISSReC) ini, pemerintah sebaiknya mencari cara lain yang lebih efektif. Misalnya secara cepat memproduksi konten kontra hoaks, ini bisa bersama kolaborasi dengan selebgram maupun publik figur tanah air.
"Karena sebenarnya bermain isu di media sosial salah satu paling efektif dengan kontra narasi dan seharusnya pemerintah punya cukup resource yang sangat baik," ujarnya.
Selain itu untuk program jangka panjang, pemerintah perlu mengembangkan literasi digital agar masyarakat cerdas dalam mencerna informasi.
"Kita tentu berharap, kebijakan seperti ini tidak terulang. Ada ketakutan, bila pembatasan internet kurang efektif, akan dilakukan "pemadaman" internet, hal yang sebaiknya tidak terjadi. Karena sebenarya situasi nasional masih sangat kondusif, apalagi menurut Polri aktor kerusuhan sudah ditangkap, sehingga harusnya potensi chaos dan hoaks sudah bisa diminimalisir," tandasnya. [] SINDONEWS