TamiangNews.com, BANDA ACEH -- Dana pokok pikiran (pokir) sebesar Rp 20 miliar untuk masing-masing anggota DPRA, Rp 45 miliar untuk wakil ketua, dan Rp 75 miliar untuk ketua yang diplotkan dalam APBA 2019 dinilai berpotensi besar dikorupsi. Karena itu, Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh meminta pengelolaan dana tersebut dipublikasi secara utuh dan transparan agar bisa diawasai publik.
“Ada masukan yang dapat kita jadikan formula untuk mengawasi dana itu, yaitu mendorong Pemerintah Aceh membuka data pokir itu secara terbuka, termasuk mengumumkan secara berkala di media,” kata Koordinator GeRAK, Askhalani saat dimintai keterangannya, Jumat (8/2) terkait program DPRA yang dulunya disebut dana aspirasi.
Menurut Askhalani, pemerintah wajib menempelkan data program pokir dewan di semua daerah sebagaimana usulan awal hingga proses pengerjaan proyek berlangsung. Dalam data yang dipublis itu, juga harus jelas disebutkan objek sumber dan asal usul anggaran pengusul.
“Kepentingan mengumumkan data tersebut untuk memberi kesempatan publik dalam mengawasi program dan kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing anggota DPRA di semua wilayah,” kata Askhalani.
Menurut GeRAK, pengelolaan dana pokir atau aspirasi DPRA selama ini bisa dibilang sangat tertutup dan tidak bisa diakses oleh publik. Karenanya, GeRAK mendorong eksekutif dan legislatif untuk memberi ruang kepada publik mengakses dana besar tersebut.
“Selama ini kesulitan publik adalah tidak mengetahui siapa pengusul anggaran, apakah dinas atau pokir dewan (aspirasi), jadi karena kesulitan itu pula yang membuat publik menjadi pesimis dengan program dan kegiatan yang dilakukan,” kata Askhalani.
Jika akses data dan publikasi ini dilakukan, kata Askhalani, maka peran dan partisipasi publik dengan sendirinya akan meningkat, termasuk anggota DPRA akan mendapat empati dari publik atas usulan kegiatan yang dilakukan dan ini menurut GeRAK akan memberi nilai positif atas kerja-kerja anggota dewan.
“Selain itu, keterbukaan dan akses mudah atas data pokir dewan juga akan mengurangi dampak negatif termasuk menurunkan kejahatan korupsi yang selama ini sangat identik dengan dana aspirasi. Jadi, jika data terbuka dan akses mudah maka konotasi negatif atas dana pokir ini akan berubah menjadi nilai positif,” demikian Askhalani.
Sebelumnya, LSM Masyarakat Tranparansi Aceh (MaTA) juga menyampaikan beberapa catatan kritis terhadap dana pokir DPRA. MaTA dengan jelas menolak anggota DPRA mendapatkan jatah anggaran puluhan miliar karena DPRA sendiri memiliki tugas fungsi penting, yakni pengawasan, legislasi, dan anggaran.
“Fungsi anggaran itu mengesahkan atau menolak qanun tentang anggaran Aceh setiap tahunnya, bukan malah meminta jatah anggaran,” kata Koordinator MaTA, Alfian kepada Serambi beberapa waktu lalu. [] SEAMBINEWS
Foto : Serambinews |
Menurut Askhalani, pemerintah wajib menempelkan data program pokir dewan di semua daerah sebagaimana usulan awal hingga proses pengerjaan proyek berlangsung. Dalam data yang dipublis itu, juga harus jelas disebutkan objek sumber dan asal usul anggaran pengusul.
“Kepentingan mengumumkan data tersebut untuk memberi kesempatan publik dalam mengawasi program dan kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing anggota DPRA di semua wilayah,” kata Askhalani.
Menurut GeRAK, pengelolaan dana pokir atau aspirasi DPRA selama ini bisa dibilang sangat tertutup dan tidak bisa diakses oleh publik. Karenanya, GeRAK mendorong eksekutif dan legislatif untuk memberi ruang kepada publik mengakses dana besar tersebut.
“Selama ini kesulitan publik adalah tidak mengetahui siapa pengusul anggaran, apakah dinas atau pokir dewan (aspirasi), jadi karena kesulitan itu pula yang membuat publik menjadi pesimis dengan program dan kegiatan yang dilakukan,” kata Askhalani.
Jika akses data dan publikasi ini dilakukan, kata Askhalani, maka peran dan partisipasi publik dengan sendirinya akan meningkat, termasuk anggota DPRA akan mendapat empati dari publik atas usulan kegiatan yang dilakukan dan ini menurut GeRAK akan memberi nilai positif atas kerja-kerja anggota dewan.
“Selain itu, keterbukaan dan akses mudah atas data pokir dewan juga akan mengurangi dampak negatif termasuk menurunkan kejahatan korupsi yang selama ini sangat identik dengan dana aspirasi. Jadi, jika data terbuka dan akses mudah maka konotasi negatif atas dana pokir ini akan berubah menjadi nilai positif,” demikian Askhalani.
Sebelumnya, LSM Masyarakat Tranparansi Aceh (MaTA) juga menyampaikan beberapa catatan kritis terhadap dana pokir DPRA. MaTA dengan jelas menolak anggota DPRA mendapatkan jatah anggaran puluhan miliar karena DPRA sendiri memiliki tugas fungsi penting, yakni pengawasan, legislasi, dan anggaran.
“Fungsi anggaran itu mengesahkan atau menolak qanun tentang anggaran Aceh setiap tahunnya, bukan malah meminta jatah anggaran,” kata Koordinator MaTA, Alfian kepada Serambi beberapa waktu lalu. [] SEAMBINEWS