Notification

×

Iklan

Iklan

Tegas! Masyarakat Beutong Tolak Perusahaan Tambang Emas

Selasa, 11 September 2018 | September 11, 2018 WIB | 0 Views Last Updated 2018-09-11T11:01:20Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik
TamiangNews.com, NAGAN RAYA -- Masyarakat di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, secara tegas menolak rencana pembukaan tambang emas skala besar di daerah mereka. Masyarakat khawatir, kehadiran perusahaan akan menimbulkan bencana dan mengancam keselamatan warga.

Foto : Mongabay.co,id
Muharuddin, masyarakat Beutong Ateuh Banggalang, pada 10 September 2018 mengatakan, masyarakat yang menolak kehadiran tambang berasal dari empat desa. Ada Desa Babah Suak, Kuta Tengoh, Blang Puuk, dan Blang Meurandeh.

“Kami tidak mau ada perusahaan, apalagi tambang emas. Hutan di Beutong masih bagus, kami khawatir, jika hutan rusak akan datang bencana”, ujarnya.

Menurut Muharuddin, banyak daerah yang sungainya tercemar setelah dijadikan tambang. Tidak ada yang bertanggung jawab, masyarakat jadi korban. “Yang kaya dan sejahtera karena pertambangan itu hanya pemilik perusahaan dan pejabatnya. Sementara pekerja dan masyarakat yang hidup di sekitar pertambangan tetap miskin, bahkan makin menderita karena lahannya dikuasi perusahaan”, terangnya.

Berdasarkan data Walhi Aceh, pemerintah melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi melalui Surat Keterangan Nomor: 66/1/IUP/PMA/2017 pada 19 Desember 2017 untuk PT. Emas Mineral Murni (EMM). Lahan yang digarap mencapai 10 ribu hektar. Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA)ini akan menambang emas di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya, dan Kecamatan Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah.

Tegas menolak

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nur menyebutkan, Walhi Aceh dengan masyarakat empat desa tersebut, pada 8 September 2018, telah menolak kehadiran PT. Emas Mineral Murni. Penolakan ditandai dengan tanda tangan warga di atas kain putih dan pemasangan spanduk di jembatan rangka baja yang merupakan jalan akses Beutong Ateuh Banggala ke Aceh Tengah.

Foto : Mongabay.co,id
“Dalam waktu dekat, masyarakat akan menyiapkan petisi penolakan sebagai bentuk kesadaran menjaga lingkungan”, terangnya.

Muhammad Nur menambahkan, saat izin PT. EMM dikeluarkan, Provinsi Aceh sedang berlaku moratorium tambang. “Yang anehnya lagi, Walhi sebagai anggota Komisi Amdal Provinsi Aceh tidak pernah tahu pembahasannya. Izin perusahaan juga dikeluarkan pemerintah pusat, bukan Pemerintah Aceh”, ungkapnya.

Walhi Aceh telah melakukan akses informasi terkait dokumen perizinan dan dokumen lingkungan hidup PT. EMM pada Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK), Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh, dan Dinas ESDM Aceh. Permohonan yang sama juga ditujukan ke Kementerian ESDM, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Foto : Mongabay.co,id
Hasil analisis sementara Walhi Aceh menunjukkan, ada tujuh desa yang berdampak langsung dari tambang tersebut, yaitu Desa Berawang Baro, Wih Ilang, dan Arul Badak, Kecamatan Pegasing; serta Desa Babah Suak, Kuta Tengoh, Blang Puuk, dan Blang Meurandeh, Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang.

“Hasil konfirmasi Walhi Aceh dengan beberapa pejabat desa, mereka tidak memiliki informasi terkait PT. EMM. Sebelumnya, pada 2013, elemen masyarakat di Beutong Ateuh Banggalang telah menolak kehadiran perusahaan ini karena berdampak negatif pada lingkungan. Namun, hari ini malah masyarakat dapat “hadiah” izin usaha pertambangan”, jelasnya.

Walhi Aceh bersama masyarakat Beutong Ateuh Manggalang akan menempuh jalur hukum demi pembatalan izin PT. EMM. Walhi menduga, proses perizinan dan kajian amdal tidak dilakukan sesuai prosedur.

Foto : Mongabay.co,id
“Kami mendesak Kementerian ESDM, KLHK, serta BKPM untuk mengevaluasi perizinan ini. Begitu pula dengan Bupati Nagan Raya dan Gubernur Aceh untuk membatalkan segala bentuk rekomendasi”, ujar Muhamamd Nur.

 Dedi Yansyah, Koordinator Wildlife Protection Team Forum Konservasi Leuser (FKL) menyebutkan, kawasan hutan di Beutong, Kabupaten Nagan Raya, merupakan koridor atau hutan penghubung Kawasan Ekosistem Leuser dengan hutan Ulu Masen. Bentang alam Ulu Masen-Leuser merupakan habitat harimau sumatera terbesar di dunia. Jika hutan tersebut rusak akan memutuskan jalur habitat satwa yang pastinya memisahkan dua kawasan hutan itu.

“Dari sejumlah survei dan patroli yang dilakukan FKL, di hutan Beutong masih banyak ditemukan keberadaan satwa kunci lainnya seperti gajah dan dan orangutan sumatera,” terangnya.

Jika hutan Beutong rusak, tidak ada lagi jalur lintasan satwa untuk berpindah dari Leuser ke Ulu Masen atau sebaliknya. “Semua pihak harus memikirkan hal ini. Bila habitat rusak bukan hanya akan mempercepat kepunahan satwa tapi juga menimbulkan konflik dengan masyarakat”, tandas Dedi. [] MONGABAY.CO.ID

×
Berita Terbaru Update