TamiangNews.com, SIGLI -- Muhammad Al-Zafran yang baru berusia 19 bulan asal Gampong Krueng Reubee, Kecamatan Delima, Pidie, menderita bocor jantung sejak bayi. Orang tuanya, Faisal (40) dan Nursyidah (40) telah berupaya mengobati anak ketiganya itu sejak setahun lalu di RSUZA Banda Aceh.
Namun, seiring menipisnya ekonomi keluarga miskin itu, mereka pun mengaku sudah tak mampu lagi membawa anaknya berobat, apalagi membiayai pengobatan di luar daerah seperti saran dokter.
Nursyiah mengatakan, anaknya dirujuk ke RSUZA Banda Aceh, karena tidak bisa ditangani di RSUD Sigli. Selain itu, tiga jenis obat yang wajib dikonsumsi pun tidak tersedia di kabupaten tersebut. “Jika dibeli per bungkus di Pidie, obat jantung tersebut harganya mulai Rp 250.000 hingga Rp 300.000. Sedangkan di RSUZA, obat ini bisa didapat secara gratis,” katanya.
Karena itu, Nursyidah berharap bisa kembali membawa anaknya itu berobat ke RSUZA Banda Aceh, tapi ia terkendala dengan biaya hidup dan pendampingan pasien selama di Banda Aceh. “Kami ini keluarga tak mampu, dan kami sudah ajukan permohonan ke Dinas Sosial Pidie melalui Program Keluarga Harapan (PKH) agar bisa mendapat bantuan dana untuk membantu biaya selama pengobatan. Namun sampai saat ini, permohonan kami belum juga mendapat respons,” kata Nursyidah, Minggu (19/8).
Ia mengaku suaminya yang bekerja sebagai kuli bangunan tidak memiliki penghasilan tetap. Sehingga mereka sangat kesulitan memenuhi kebutuhan biaya mendampingi anaknya saat berobat di Banda Aceh.
“Sering kali kami harus menjual padi hasil upahan yang disimpan sebagai persediaan keluarga, untuk biaya perjalanan serta biaya konsumsi selama proses pengobatan. Dan saat ini kami benar-benar kehabisan uang untuk melanjutkan pengobatan anak kami,” ungkapnya.
Karena itu ia sangat berharap Pemkab Pidie bisa membantu biaya pendampingan, agar Muhammad Al-Zafran bisa melanjutkan pengobatan atas penyakitnya, hingga sembuh secara sempurna. [] SERAMBI
![]() |
Foto : Serambi |
Nursyiah mengatakan, anaknya dirujuk ke RSUZA Banda Aceh, karena tidak bisa ditangani di RSUD Sigli. Selain itu, tiga jenis obat yang wajib dikonsumsi pun tidak tersedia di kabupaten tersebut. “Jika dibeli per bungkus di Pidie, obat jantung tersebut harganya mulai Rp 250.000 hingga Rp 300.000. Sedangkan di RSUZA, obat ini bisa didapat secara gratis,” katanya.
Karena itu, Nursyidah berharap bisa kembali membawa anaknya itu berobat ke RSUZA Banda Aceh, tapi ia terkendala dengan biaya hidup dan pendampingan pasien selama di Banda Aceh. “Kami ini keluarga tak mampu, dan kami sudah ajukan permohonan ke Dinas Sosial Pidie melalui Program Keluarga Harapan (PKH) agar bisa mendapat bantuan dana untuk membantu biaya selama pengobatan. Namun sampai saat ini, permohonan kami belum juga mendapat respons,” kata Nursyidah, Minggu (19/8).
Ia mengaku suaminya yang bekerja sebagai kuli bangunan tidak memiliki penghasilan tetap. Sehingga mereka sangat kesulitan memenuhi kebutuhan biaya mendampingi anaknya saat berobat di Banda Aceh.
“Sering kali kami harus menjual padi hasil upahan yang disimpan sebagai persediaan keluarga, untuk biaya perjalanan serta biaya konsumsi selama proses pengobatan. Dan saat ini kami benar-benar kehabisan uang untuk melanjutkan pengobatan anak kami,” ungkapnya.
Karena itu ia sangat berharap Pemkab Pidie bisa membantu biaya pendampingan, agar Muhammad Al-Zafran bisa melanjutkan pengobatan atas penyakitnya, hingga sembuh secara sempurna. [] SERAMBI