TamiangNews.com, MAKASAR -- Hari itu, Selasa (13/02/2018), Amrullah, nelayan asal Dusun Labuange, Desa Kupa, Kecamatan Mallusetasi, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, merasa kaget ketika akan beraktivitas, melihat gelondongan kayu sepanjang 10 meter mengapung di pesisir pantai. Ketika didekati, ternyata itu bangkai paus.
Kejadian itu kemudian tersebar di media dan pemerintah setempat, serta baru diketahui informasi pada Rabu malam (14/02/2018) oleh Tim Respon Cepat (Quick Response/QR) Balai Pengelolaan Sumber Daya Perikanan dan Laut(BPSPL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Makassar Wilayah Sulawesi, yang langsung menuju lokasi.
“Mendengar informasi tersebut kita langsung kirim Tim Respon Cepat, melakukan identifikasi terhadap ikan paus tersebut. Ada tiga orang yang kami tugaskan, yaitu Muhammad Rizal, Munandar Jakasukmana, dan Irfan. Ketika mereka tiba di lokasi kondisi bangkai sudah mulai membusuk,” ungkap Andry Indryasworo Sukmoputro, Kepala BPSPL Makassar, yang dihubungi Mongabay Indonesia pada Sabtu (17/02/2018).
Tim mengidentifikasi paus terdampar itu Paus Sperma (Physeter macrocephalus), dengan kondisi kode 4 (mati dengan bangkai sudah membusuk). Panjang totalnya 9,8 meter dengan lingkar badan 3,6 mete
Menurut Andry, Tim QR kemudian melakukan koordinasi dengan pihak Polsek, Kepala Desa setempat, DKP Kabupaten Barru, dan BKIPM (Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan) KKP Wilayah Kerja Parepare untuk melakukan penanganan paus terdampar mati tersebut.
Dikhawatirkan keberadaan bangkai ikan paus tersebut akan berdampak buruk bagi perairan sekitar maka tim segera mempelajari metode yang tepat untuk penanganannya.
“Berdasarkan pertimbangan kondisi di lapangan, dimana kontur daratan tebing, garis pantai telah dibangun tembok pembatas, serta tidak ada lahan yang memungkinkan untuk dilakukan penguburan, maka disepakati untuk penanganan dengan cara menarik ke tengah laut untuk ditenggelamkan,” jelas
Upaya penanganan ikan paus tersebut melibatkan banyak pihak, termasuk PT.TOM, sebuah perusahaan budidaya kerang mutiara di Kabupaten Barru, yang kebetulan posisinya berada dekat dengan lokasi kejadian terdampar.
“PT TOM membantu memfasilitasi kapal untuk menarik bangkai beserta tali pengikat dan puluhan karung pasir sebagai pemberat,” jelas Andry.
Setelah dilakukan proses morfometri dan pengambilan sampel bangkai paus, dilakukan proses pengikatan dan menarik bangkai tersebut ke perairan yang lebih dalam untuk ditenggelamkan di perairan sejauh 3 km dari pesisir dengan kapal ponton milik PT TOM.
“Sesampainya di tengah lautan, bangkai paus tersebut ditusukkan dibagian abdomen untuk mengeluarkan gas yang ada di dalamnya dan diberi pemberat untuk kemudian ditenggelamkan.”
Menurut Andry, kejadian mamalia laut terdampar di pantai dalah hal yang lazim dan sering terjadi di berbagai daerah. Beragam kejadian inilah yang kemudian menjadi alasan dibentuknya Tim Respon Cepat.
“Kita juga sering melakukan sosialisasi ke masyarakat terkait tindakan apa yang bisa mereka lakukan jika mendapati situasi seperti ini,” katanya.
Untuk upaya sosialisasi ini, setiap tim QR BPSPL Makassar ke lokasi untuk melakukan penanganan juga sambil melakukan sosialisasi dengan masyarakat sekitar, baik dengan lisan maupun menggunakan media, baik brosur, poster tentang tata cara penanganan mamalia laut terdampar secara umum.
“Tim kami juga bisanya menyampaikan informasi nomor saluran pengaduan yang dapat dihubungi jika ditemukan kejadian serupa.”
Bukan Kasus Pertama
Amrullah, nelayan yang pertama kali menemukan paus tersebut menduga satwa tersebut telah lama mati dan terdampar akibat terbawa arus air. “Melihat dari kondisinya, ikan ini sudah mati sekitar beberapa minggu,” ungkapnya, sebagaimana dikutip dari rakyatku.com.
Menurutnya, kejadian paus terdampar bukanlah kali pertama terjadi di lokasi perairan tersebut. Beberapa tahun sebelumnya ia pernah menemukan ikan paus berukuran lebih besar dibanding yang sekarang.
Temuan bangkai paus tersebut terjadi menjadi tontotan tersendiri bagi warga. Di beberapa foto pemberitaan di media lokal terlihat banyak warga yang memanfaatkan momen tersebut untuk berfoto di depan bangkai ikan tersebut.
Menurut Andry, dalam setahun terakhir, telah terjadi beberapa kasus mamalia terdampar di wilayah Sulawesi, yang menjadi wilayah kerja BPSPL Makassar.
Sebelumnya, sejumlah individu lumba-lumba sejenis Paus Pembunuh Kerdil ditemukan dalam kondisi mati di perairan Desa Mangindara, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar, pada Juli 2017 lalu. Warga setempat menduga, kematian lumba-lumba ini terkait adanya aktivitas penambangan pasir laut di daerah tersebut.
Selain itu, mamalia terdampar juga ditemukan di Kecamatan Bunta, Kabupaten Banggai pada 8 Januari 2018, berjenis Paus Sperma dengan panjang 10,25 meter. Penangananya dengan cara dipotong-potong, lalu dibawa oleh 6 perahu ketinting, kemudian ditenggelamkan ke tengah lautan. Penanganannya dilakukan oleh DKP Luwuk Banggai, PSDKP Satker Luwuk Banggai, BKIPM, TNI AL, Camat Bunta dan masyarakat setempat.
Mamalia Paus terdampar lainnya ditemukan di Pantai Topobatu, Kecamatan Lameloro Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara, pada 31 Januari 2018 lalu, jenis Paus Spermajantan sepanjang 17,3 meter. Penanganannya dengan cara dibakar
“Penanganan ini dilakukan oleh Tim QR BPSPL Makassar Satker Kendari bersama DKP Prop Sulawesi Tenggara, satker PSDKP kendari, DKP Kab Bombana, WWF, Polair Bombana dan Pos TNI AL Bombana.”
Terakhir adalah hiu paus terjebak di Lagon Pulau Sambori diketahui pada 4 Februari 2018, jenis Hiu Paus (rhincodon typus) jantan dengan panjang 4,2 meter. Penanganan sudah di lakukan pada 10-11 Februari 2018 lalu, meski belum berhasil dievakuasi mengingat kondisi saat itu belum pasang tertinggi sehingga menyulitkan menggiring keluar dari Lagon Pulau Sombori.
“Upaya akan dilakukan kembali pada 21-23 Februari 2018. Dilaksanakan bekerjama antara BPSPL Makassar dgn DKP Kab Morowali, PSDKP Wilker Banggai, Pemerintah Desa Mbokita, Sailfish Diving Club Universitas Muhammadiyah Kendari, kader konservasi dan masyarakat nelayan Pulau Sombori.”
Tantangan
Menurut Andry, penanganan mamalia laut terdampar, apalagi yang sudah dalam kondisi mati memiliki tantangan tersendiri. Baik itu dari segi akses, persepsi masyarakat hingga ketersediaan sumber daya yang kompeten dalam penanganan di lapangan.
“Jika lokasi berada jauh dari akses jalan, maka akan menyulitkan dilakukan penguburan dengan menggunakan alat berat atau ekscavator. Begitu juga jika tak ada perahu atau kapal yang cukup besar, yang mampu menarik ikan maupun mamalia terdampar mati tersebut. Jika menghadapi kondisi tersebut maka langkah yang dapat dilakukan adalah dimusnahkan dengan cara dibakar,” jelasnya.
Terkait persepsi masyarakat, Andry menilai masih banyak masyarakat menganggap ikan Hiu Paus maupun mamalia paus yang terdampar lainnya sah-sah saja untuk dimanfaatkan atau dikonsumsi.
“Padahal ada resiko buruk bagi kesehatan, di samping juga statusnya dilindungi, sehingga tidak boleh dimanfaatkan untuk apapun walau sudah dalam kondisi mati.”
Paling penting juga, menurut Andry adalah perlunya sumberdaya yang kompeten untuk penanganan, baik dari segi peralatan maupun tenaga bantuan dari jejaring penanganan mamalia terdampar lainnya seperti dari sejumlah instansi, seperti BPBD, PU, DKP, Balai Karantina Ikan, akademisi, dan LSM yang berkompeten lainnya, serta bantuan dokter hewan untuk melakukan nekropsi. [] mongabay.co.id
Foto : mongabay.co.id |
“Mendengar informasi tersebut kita langsung kirim Tim Respon Cepat, melakukan identifikasi terhadap ikan paus tersebut. Ada tiga orang yang kami tugaskan, yaitu Muhammad Rizal, Munandar Jakasukmana, dan Irfan. Ketika mereka tiba di lokasi kondisi bangkai sudah mulai membusuk,” ungkap Andry Indryasworo Sukmoputro, Kepala BPSPL Makassar, yang dihubungi Mongabay Indonesia pada Sabtu (17/02/2018).
Tim mengidentifikasi paus terdampar itu Paus Sperma (Physeter macrocephalus), dengan kondisi kode 4 (mati dengan bangkai sudah membusuk). Panjang totalnya 9,8 meter dengan lingkar badan 3,6 mete
Menurut Andry, Tim QR kemudian melakukan koordinasi dengan pihak Polsek, Kepala Desa setempat, DKP Kabupaten Barru, dan BKIPM (Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan) KKP Wilayah Kerja Parepare untuk melakukan penanganan paus terdampar mati tersebut.
Dikhawatirkan keberadaan bangkai ikan paus tersebut akan berdampak buruk bagi perairan sekitar maka tim segera mempelajari metode yang tepat untuk penanganannya.
“Berdasarkan pertimbangan kondisi di lapangan, dimana kontur daratan tebing, garis pantai telah dibangun tembok pembatas, serta tidak ada lahan yang memungkinkan untuk dilakukan penguburan, maka disepakati untuk penanganan dengan cara menarik ke tengah laut untuk ditenggelamkan,” jelas
Upaya penanganan ikan paus tersebut melibatkan banyak pihak, termasuk PT.TOM, sebuah perusahaan budidaya kerang mutiara di Kabupaten Barru, yang kebetulan posisinya berada dekat dengan lokasi kejadian terdampar.
“PT TOM membantu memfasilitasi kapal untuk menarik bangkai beserta tali pengikat dan puluhan karung pasir sebagai pemberat,” jelas Andry.
Setelah dilakukan proses morfometri dan pengambilan sampel bangkai paus, dilakukan proses pengikatan dan menarik bangkai tersebut ke perairan yang lebih dalam untuk ditenggelamkan di perairan sejauh 3 km dari pesisir dengan kapal ponton milik PT TOM.
“Sesampainya di tengah lautan, bangkai paus tersebut ditusukkan dibagian abdomen untuk mengeluarkan gas yang ada di dalamnya dan diberi pemberat untuk kemudian ditenggelamkan.”
Menurut Andry, kejadian mamalia laut terdampar di pantai dalah hal yang lazim dan sering terjadi di berbagai daerah. Beragam kejadian inilah yang kemudian menjadi alasan dibentuknya Tim Respon Cepat.
“Kita juga sering melakukan sosialisasi ke masyarakat terkait tindakan apa yang bisa mereka lakukan jika mendapati situasi seperti ini,” katanya.
Untuk upaya sosialisasi ini, setiap tim QR BPSPL Makassar ke lokasi untuk melakukan penanganan juga sambil melakukan sosialisasi dengan masyarakat sekitar, baik dengan lisan maupun menggunakan media, baik brosur, poster tentang tata cara penanganan mamalia laut terdampar secara umum.
“Tim kami juga bisanya menyampaikan informasi nomor saluran pengaduan yang dapat dihubungi jika ditemukan kejadian serupa.”
Bukan Kasus Pertama
Amrullah, nelayan yang pertama kali menemukan paus tersebut menduga satwa tersebut telah lama mati dan terdampar akibat terbawa arus air. “Melihat dari kondisinya, ikan ini sudah mati sekitar beberapa minggu,” ungkapnya, sebagaimana dikutip dari rakyatku.com.
Menurutnya, kejadian paus terdampar bukanlah kali pertama terjadi di lokasi perairan tersebut. Beberapa tahun sebelumnya ia pernah menemukan ikan paus berukuran lebih besar dibanding yang sekarang.
Temuan bangkai paus tersebut terjadi menjadi tontotan tersendiri bagi warga. Di beberapa foto pemberitaan di media lokal terlihat banyak warga yang memanfaatkan momen tersebut untuk berfoto di depan bangkai ikan tersebut.
Menurut Andry, dalam setahun terakhir, telah terjadi beberapa kasus mamalia terdampar di wilayah Sulawesi, yang menjadi wilayah kerja BPSPL Makassar.
Sebelumnya, sejumlah individu lumba-lumba sejenis Paus Pembunuh Kerdil ditemukan dalam kondisi mati di perairan Desa Mangindara, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar, pada Juli 2017 lalu. Warga setempat menduga, kematian lumba-lumba ini terkait adanya aktivitas penambangan pasir laut di daerah tersebut.
Selain itu, mamalia terdampar juga ditemukan di Kecamatan Bunta, Kabupaten Banggai pada 8 Januari 2018, berjenis Paus Sperma dengan panjang 10,25 meter. Penangananya dengan cara dipotong-potong, lalu dibawa oleh 6 perahu ketinting, kemudian ditenggelamkan ke tengah lautan. Penanganannya dilakukan oleh DKP Luwuk Banggai, PSDKP Satker Luwuk Banggai, BKIPM, TNI AL, Camat Bunta dan masyarakat setempat.
Mamalia Paus terdampar lainnya ditemukan di Pantai Topobatu, Kecamatan Lameloro Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara, pada 31 Januari 2018 lalu, jenis Paus Spermajantan sepanjang 17,3 meter. Penanganannya dengan cara dibakar
“Penanganan ini dilakukan oleh Tim QR BPSPL Makassar Satker Kendari bersama DKP Prop Sulawesi Tenggara, satker PSDKP kendari, DKP Kab Bombana, WWF, Polair Bombana dan Pos TNI AL Bombana.”
Terakhir adalah hiu paus terjebak di Lagon Pulau Sambori diketahui pada 4 Februari 2018, jenis Hiu Paus (rhincodon typus) jantan dengan panjang 4,2 meter. Penanganan sudah di lakukan pada 10-11 Februari 2018 lalu, meski belum berhasil dievakuasi mengingat kondisi saat itu belum pasang tertinggi sehingga menyulitkan menggiring keluar dari Lagon Pulau Sombori.
“Upaya akan dilakukan kembali pada 21-23 Februari 2018. Dilaksanakan bekerjama antara BPSPL Makassar dgn DKP Kab Morowali, PSDKP Wilker Banggai, Pemerintah Desa Mbokita, Sailfish Diving Club Universitas Muhammadiyah Kendari, kader konservasi dan masyarakat nelayan Pulau Sombori.”
Tantangan
Menurut Andry, penanganan mamalia laut terdampar, apalagi yang sudah dalam kondisi mati memiliki tantangan tersendiri. Baik itu dari segi akses, persepsi masyarakat hingga ketersediaan sumber daya yang kompeten dalam penanganan di lapangan.
“Jika lokasi berada jauh dari akses jalan, maka akan menyulitkan dilakukan penguburan dengan menggunakan alat berat atau ekscavator. Begitu juga jika tak ada perahu atau kapal yang cukup besar, yang mampu menarik ikan maupun mamalia terdampar mati tersebut. Jika menghadapi kondisi tersebut maka langkah yang dapat dilakukan adalah dimusnahkan dengan cara dibakar,” jelasnya.
Terkait persepsi masyarakat, Andry menilai masih banyak masyarakat menganggap ikan Hiu Paus maupun mamalia paus yang terdampar lainnya sah-sah saja untuk dimanfaatkan atau dikonsumsi.
“Padahal ada resiko buruk bagi kesehatan, di samping juga statusnya dilindungi, sehingga tidak boleh dimanfaatkan untuk apapun walau sudah dalam kondisi mati.”
Paling penting juga, menurut Andry adalah perlunya sumberdaya yang kompeten untuk penanganan, baik dari segi peralatan maupun tenaga bantuan dari jejaring penanganan mamalia terdampar lainnya seperti dari sejumlah instansi, seperti BPBD, PU, DKP, Balai Karantina Ikan, akademisi, dan LSM yang berkompeten lainnya, serta bantuan dokter hewan untuk melakukan nekropsi. [] mongabay.co.id