TamiangNews.com, SURAT PEMBACA -- Perguruan tinggi dewasa ini sangat banyak bermunculan, ibarat jamur yang tumbuh di musim hujan, keberadaan institusi tersebut menelurkan banyak sarjana, mulai dari sarjana tua yang sudah memperoleh kerja dan sebagian masih pengangguran, disusul sarjana muda yang tidak kalah banyak jumlahnya.
Dari sekian banyak perguruan tinggi di Indonesia, hanya sedikit yang bertanggungjawab terhadap alumninya, selebihnya hanya sebatas wadah menimba ilmu tanpa memberikan jaminan kepada kalangan mahasiswanya. Sarjana sebuah gelar yang dianggap sangat membanggakan, karena tidak banyak orang yang mampu memperolehnya dan butuh waktu lama untuk menggapainya.
Bila direnungkan title tersebut sebenarnya sangat berat untuk disandang, karena sangat memalukan bila akhirnya seorang sarjana berakhir menjadi seorang pengangguran. Dewasa ini sangat banyak bertebaran mulai dari level sarjana hingga pasca sarjana, dengan membawa latar belakang, jurusan, dan bakat yang berbeda. Sebagian besar dari mereka menggantungkan harapan pada gelar yang mereka sandang, sementara dunia pekerjaan tidak pernah memberikan jaminan akan menampung aspirasi yang mereka harapkan.
Akibatnya tidak sedikit para sarjana yang stress dan galau serta hidup dalam angan-angan, karena sesuatu yang mereka bayangkan selama menjalani masa perkuliahan tidak bisa menjadi kenyataan. Keterbatasan lapangan pekerjaan dan maraknya sarjana yang pengangguran sebenarnya adalah tugas pemerintah yang harus segera dituntaskan, karena para sarjanalah yang akan meneruskan tampuk kepemimpinan di masa depan. Namun pemerintah saat ini disibukkan dengan problematika politik yang justru mempersulit bukan hanya kalangan sarjana, bahkan masyarakat awam turut menjadi korbannya. Betapa tidak, pemerintah sibuk membangun infrastruktur sehingga urusan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja jadi terabaikan.
Selama 4 tahun mahasiswa bergelut dengan buku dan bergumul dengan kewajiban membayar biaya kuliah, bahkan tidak sedikit yang terpaksa meluangkan waktu bekerja sampingan demi memenuhi kebutuhan hidup dan mencicil kewajibannya di tempat perkuliahannya. Semua itu dilakukan hanya untuk mendapatkan 2 carik kertas ijazah dan transkip nilai, padahal tidak jarang kertas tersebut akhirnya hanya jadi koleksi di dalam lemari.
Melihat kondisi saat ini, mencari pekerjaan tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan, seperti yang terjadi di daerah Tamiang tidak sedikit sarjana muda yang menganggur, kondisi tersebut tidak pernah menjadi perhatian dan beban pemerintah setempat. Mereka justru memprioritaskan kelompok yang memiliki ikatan kekerabatan dan kalangan berduit, meski mereka bukan asli putera daerah Tamiang.
Sementara sarjana putera daerah Tamiang diabaikan, seperti kata pepatah “ada fulus mulus, tak ada fulus tak terurus dan terakhir mampus”, demikianlah ungkapan yang patut diucapkan untuk menilai kondisi daerah Tamiang saat ini. Saya sebagai putera Tamiang sangat berharap kepada bupati terpilih mampu melakukan perubahan yang signifikan, menghilangkan mindset negatif yang selama ini berkembang. Putera daerah wajib diprioritaskan dalam perekrutan tenaga kerja, jangan sempat mereka tersisihkan di tanah kelahiran mereka sendiri.
Mari belajar dengan daerah lain yang berlomba-lomba mengutamakan putera daerah, bila hal ini tidak menjadi perhatian pemerintah dikuatirkan akan memicu terjadinya konflik horizontal antara penduduk asli dengan para pendatang. Saya berharap pemerintah benar-benar pro aktif menyikapi masalah ini, jangan biarkan para sarjana Tamiang merasa kecewa dengan pemerintah, yang lalu biarlah berlalu, pemerintah yang baru harus lebih baik dari pemerintah terdahulu. Daerah Tamiang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) terbesar kedua di Provinsi Aceh setelah Aceh Utara, sangat ironis bila masyarakat Tamiang tidak bisa menikmati kekayaan yang mereka miliki. []
Pengirim :
HAMDANI
Kampung Sunting Kec. Bandar Pusaka
Kabupaten Aceh Tamiang
email : hamdanidani281@yahoo.co.id
Dari sekian banyak perguruan tinggi di Indonesia, hanya sedikit yang bertanggungjawab terhadap alumninya, selebihnya hanya sebatas wadah menimba ilmu tanpa memberikan jaminan kepada kalangan mahasiswanya. Sarjana sebuah gelar yang dianggap sangat membanggakan, karena tidak banyak orang yang mampu memperolehnya dan butuh waktu lama untuk menggapainya.
Bila direnungkan title tersebut sebenarnya sangat berat untuk disandang, karena sangat memalukan bila akhirnya seorang sarjana berakhir menjadi seorang pengangguran. Dewasa ini sangat banyak bertebaran mulai dari level sarjana hingga pasca sarjana, dengan membawa latar belakang, jurusan, dan bakat yang berbeda. Sebagian besar dari mereka menggantungkan harapan pada gelar yang mereka sandang, sementara dunia pekerjaan tidak pernah memberikan jaminan akan menampung aspirasi yang mereka harapkan.
Akibatnya tidak sedikit para sarjana yang stress dan galau serta hidup dalam angan-angan, karena sesuatu yang mereka bayangkan selama menjalani masa perkuliahan tidak bisa menjadi kenyataan. Keterbatasan lapangan pekerjaan dan maraknya sarjana yang pengangguran sebenarnya adalah tugas pemerintah yang harus segera dituntaskan, karena para sarjanalah yang akan meneruskan tampuk kepemimpinan di masa depan. Namun pemerintah saat ini disibukkan dengan problematika politik yang justru mempersulit bukan hanya kalangan sarjana, bahkan masyarakat awam turut menjadi korbannya. Betapa tidak, pemerintah sibuk membangun infrastruktur sehingga urusan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja jadi terabaikan.
Selama 4 tahun mahasiswa bergelut dengan buku dan bergumul dengan kewajiban membayar biaya kuliah, bahkan tidak sedikit yang terpaksa meluangkan waktu bekerja sampingan demi memenuhi kebutuhan hidup dan mencicil kewajibannya di tempat perkuliahannya. Semua itu dilakukan hanya untuk mendapatkan 2 carik kertas ijazah dan transkip nilai, padahal tidak jarang kertas tersebut akhirnya hanya jadi koleksi di dalam lemari.
Melihat kondisi saat ini, mencari pekerjaan tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan, seperti yang terjadi di daerah Tamiang tidak sedikit sarjana muda yang menganggur, kondisi tersebut tidak pernah menjadi perhatian dan beban pemerintah setempat. Mereka justru memprioritaskan kelompok yang memiliki ikatan kekerabatan dan kalangan berduit, meski mereka bukan asli putera daerah Tamiang.
Sementara sarjana putera daerah Tamiang diabaikan, seperti kata pepatah “ada fulus mulus, tak ada fulus tak terurus dan terakhir mampus”, demikianlah ungkapan yang patut diucapkan untuk menilai kondisi daerah Tamiang saat ini. Saya sebagai putera Tamiang sangat berharap kepada bupati terpilih mampu melakukan perubahan yang signifikan, menghilangkan mindset negatif yang selama ini berkembang. Putera daerah wajib diprioritaskan dalam perekrutan tenaga kerja, jangan sempat mereka tersisihkan di tanah kelahiran mereka sendiri.
Mari belajar dengan daerah lain yang berlomba-lomba mengutamakan putera daerah, bila hal ini tidak menjadi perhatian pemerintah dikuatirkan akan memicu terjadinya konflik horizontal antara penduduk asli dengan para pendatang. Saya berharap pemerintah benar-benar pro aktif menyikapi masalah ini, jangan biarkan para sarjana Tamiang merasa kecewa dengan pemerintah, yang lalu biarlah berlalu, pemerintah yang baru harus lebih baik dari pemerintah terdahulu. Daerah Tamiang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) terbesar kedua di Provinsi Aceh setelah Aceh Utara, sangat ironis bila masyarakat Tamiang tidak bisa menikmati kekayaan yang mereka miliki. []
Pengirim :
HAMDANI
Kampung Sunting Kec. Bandar Pusaka
Kabupaten Aceh Tamiang
email : hamdanidani281@yahoo.co.id