TamiangNews.com, ACEH TAMIANG - Harga pasaran karet di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, mengalami anjlok hingga kisaran Rp4.000 dari sebelumnya Rp7.000/Kg, karena terpengaruh dengan pasaran dunia yang lesu.
Misnan, salah seorang petani di Desa Harum Sari, Kecamatan Tamiang Hulu, kepada wartawan, Senin menyatakan, harga karet dalam dua tahun terakhi ini terus mengalami penurunan, akibat lesunya pasaran internasional.
"Kalau dua tahun lalu, harga karet berada dikisaran Rp15.000/Kg, kemudian turun menjadi Rp12.000/Kg. Kemudian setahun ini turun lagi menjadi Rp7.000/Kg, dan sekarang turun lagi jadi Rp4.000/Kg," ujar dia.
Ia menegaskan, dalam seminggu ini ia hanya mampu menghasilkan 20 kilogram karet basah per hektarenya dengan nilai jual Rp80.000.
"Saya pikir untuk makan saja tidak cukup, apalagi untuk biaya pendidikan anak," tuturnya.
Ia menyatakan, anjloknya komoditas primadona masyarakat di dekade dua tahun silam sangat mempengaruhi roda perputaran ekonomi di pedesaan, sebab rendahnya harga karet tak sebanding dengan harga sembako yang terus meroket di pasar.
Misnan berharap agar Pemerintah mendesak serta melakukan satu kebijakan terhadap pihak terkait untuk menaikkan atau menetralisir kembali harga karet yang terpuruk tersebut. Tak lain kebijakan tersebut untuk mendongkrak kembali perekonomian masyarakat yang hari ini terpuruk.
"Pemerintah juga harus melakukan sidak lapangan agar jangan sampai ada ditemukan permainan harga karet dibursa perdagangan. Melemahnya harga karet ini berarti pemerintah tidak mampu membuat perekonomian masyarakat menjadi membaik," kata Misnan.
Dikatakan, secara ekonomi, kehidupan warga desa saat ini sangat sekarat. Walaupun memiliki kebun karet seluas 2 hektare, tapi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tidak mencukupi.
Misnan merincikan setiap pekannya penyadapan karet di kebun seluas 2 hektare hanya mampu menghasilkan karet cetak 40 kilogram.
Petani lain, Suryadi mengaku, untuk mencukupi uang belanjanya, dirinya beserta penduduk lain harus mencari penghasilan tambahan dengan cara menjadi buruh harian lepas pemanen kelapa sawit milik warga sekitar.
Selain itu, sebut Suryadi, warga saat ini juga banyak yang menjadi buruh di perusahaan perkebunan besar dengan rata-rata penghasilan mereka Rp50.000/hari.
"Hasil inilah yang dapat menutupi kebutuhan keluarga dan anak sekolah. Saya berharap krisis ini segera berakhir, sebab kami sudah cukup menderita," harapnya. [] antaranews.com
Misnan, salah seorang petani di Desa Harum Sari, Kecamatan Tamiang Hulu, kepada wartawan, Senin menyatakan, harga karet dalam dua tahun terakhi ini terus mengalami penurunan, akibat lesunya pasaran internasional.
"Kalau dua tahun lalu, harga karet berada dikisaran Rp15.000/Kg, kemudian turun menjadi Rp12.000/Kg. Kemudian setahun ini turun lagi menjadi Rp7.000/Kg, dan sekarang turun lagi jadi Rp4.000/Kg," ujar dia.
Ia menegaskan, dalam seminggu ini ia hanya mampu menghasilkan 20 kilogram karet basah per hektarenya dengan nilai jual Rp80.000.
"Saya pikir untuk makan saja tidak cukup, apalagi untuk biaya pendidikan anak," tuturnya.
Ia menyatakan, anjloknya komoditas primadona masyarakat di dekade dua tahun silam sangat mempengaruhi roda perputaran ekonomi di pedesaan, sebab rendahnya harga karet tak sebanding dengan harga sembako yang terus meroket di pasar.
Misnan berharap agar Pemerintah mendesak serta melakukan satu kebijakan terhadap pihak terkait untuk menaikkan atau menetralisir kembali harga karet yang terpuruk tersebut. Tak lain kebijakan tersebut untuk mendongkrak kembali perekonomian masyarakat yang hari ini terpuruk.
"Pemerintah juga harus melakukan sidak lapangan agar jangan sampai ada ditemukan permainan harga karet dibursa perdagangan. Melemahnya harga karet ini berarti pemerintah tidak mampu membuat perekonomian masyarakat menjadi membaik," kata Misnan.
Dikatakan, secara ekonomi, kehidupan warga desa saat ini sangat sekarat. Walaupun memiliki kebun karet seluas 2 hektare, tapi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tidak mencukupi.
Misnan merincikan setiap pekannya penyadapan karet di kebun seluas 2 hektare hanya mampu menghasilkan karet cetak 40 kilogram.
Petani lain, Suryadi mengaku, untuk mencukupi uang belanjanya, dirinya beserta penduduk lain harus mencari penghasilan tambahan dengan cara menjadi buruh harian lepas pemanen kelapa sawit milik warga sekitar.
Selain itu, sebut Suryadi, warga saat ini juga banyak yang menjadi buruh di perusahaan perkebunan besar dengan rata-rata penghasilan mereka Rp50.000/hari.
"Hasil inilah yang dapat menutupi kebutuhan keluarga dan anak sekolah. Saya berharap krisis ini segera berakhir, sebab kami sudah cukup menderita," harapnya. [] antaranews.com