TamiangNews.com, BANDA ACEH - DPRA dan eksekutif sepakat mengubah syarat pengajuan bakal calon kepala daerah untuk jalur perseorangan/independen. Perubahan terjadi pada syarat pernyataan dukungan, dimana harus dibuat secara individu, tidak kolektif sebagaimana yang diatur dalam Qanun Pilkada sebelumnya.
Dengan perubahan tersebut, otomatis akan membuat bakal calon harus bekerja lebih keras lagi dalam upaya mengumpulkan dukungan. Karena, dalam setiap lembar KTP dukungan harus disertakan surat pernyataan yang wajib dilengkapi materai dan tanda tangan pendukung.
Perubahan syarat pengajuan bakal calon dari jalur independen itu disepakati dalam pembahasan lanjutan Perubahan Qanun Pilkada Nomor 5 Tahun 2012, Senin (12/4) malam. Rapat berlangsung mulai dari pukul 20.20 dan berakhir pukul 00.00 WIB.
Ketua Badan Legislasi (Banleg) DPRA selaku pimpinan rapat, Iskandar Usman Al-Farlaky, kepada Serambi, Selasa (13/4), mengatakan, pasal yang mengatur syarat dukungan calon independen ini terdapat pada Pasal 24, huruf ‘a’, ‘b’, ‘c’, ‘d’, ‘e’, ‘f’, dan ‘g’.
Pada huruf ‘a’ sebutnya, syarat jumlah dukungan untuk pengajuan bakal calon independen adalah sebesar 3 persen dari jumlah penduduk, yang tersebar sekurang-kurangnya 50 persen dari jumlah kecamatan untuk pemilihan bupati/wakil bupati, atau wali kota/wakil wali kota.
“Pada huruf ‘b’, dukungan itu harus disertai dengan identitas bukti diri dan pernyataan tertulis yang disertai materai. Kemudian pada huruf ‘c’ dikatakan, bukti dukungan bisa berupa KTP, Paspor, SIM, dan identitas kependudukan yang lain,” jelas mantan aktivis mahasiswa ini.
Pernyataan dukungan tertulis itu, sambung Iskandar lagi, sebagaimana diatur pada huruf ‘d’ dan ‘e’, harus ditandatangani atau dibubuhi cap jempol, dibuat secara individu, dilengkapi materai, dan mengetahui keuchik setempat. Daftar nama pendukung itu kemudian ditempelkan di kantor keuchik atau meunasah gampong.
“Setiap pemilih hanya boleh memberikan dukungan kepada satu pasangan calon. Apabila berlebih, maka dinyatakan tidak sah. Terhadap pasangan bakal calon juga akan diberikan sanksi berupa pengurangan sebanyak 10 lembar KTP dukungan,” sebut Iskandar mengutip Pasal 22 huruf ‘f’ dan ‘g’.
Iskandar mengakui bahwa pembahasan tentang syarat pengajuan calon independen kemarin malam sangat alot, sebab sebagian peserta rapat menganggap aturan pada huruf ‘e’ akan memperberat syarat terhadap pengajuan calon independen.
Meski demikian, lanjutnya, semua pihak, baik eksekutif dan legislatif, akhirnya sepakat dengan poin-poin yang telah diatur tersebut. “Kita bukan ingin memperberat, tetapi kita ingin selektif sehingga bakal calon memiliki kapasitas dan integritas yang kuat di mata masyarakat. Tidak asal memberi dukungan, namun memiliki keterikatakan sehingga terpenuhi unsur dikenal dan mengenal masyarakat. Ini akan membawa kapasitas bakal calon independen juga tidak kalah posisi seperti bakal calon yang diusung partai politik,” beber politisi muda ini.
Disamping itu, hal yang juga diperdebatkan adalah ketentuan dalam Pasal 22 huruf ‘b’ dan ‘e’. Dalam pasal 22 huruf ‘b’ disebutkan bahwa salah satu syarat pasangan bakal calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota adalah orang Aceh.
“Hal ini diperdebatkan, itu yang dimaksud ‘orang Aceh’ yang bagaimana? Nah ketentuan ini kemudian diperjelas pada bagian penjelasan, dimana yang dimaksud ‘orang Aceh’ adalah orang yang mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya, yaitu pernah menetap minimal 5 tahun di daerah pemilihan,” jelas Iskandar.
Sementara pada huruf ‘e’ disebutkan, syarat lain yang juga harus dipenuhi oleh bakal calon adalah harus bersedia menjalankan butir-butir MoU Helsinki dan Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). “Kesediaan itu harus dibuktikan dengan surat pernyataan oleh masing-masing pasangan calon,” imbuhnya. (serambinews)
Dengan perubahan tersebut, otomatis akan membuat bakal calon harus bekerja lebih keras lagi dalam upaya mengumpulkan dukungan. Karena, dalam setiap lembar KTP dukungan harus disertakan surat pernyataan yang wajib dilengkapi materai dan tanda tangan pendukung.
Perubahan syarat pengajuan bakal calon dari jalur independen itu disepakati dalam pembahasan lanjutan Perubahan Qanun Pilkada Nomor 5 Tahun 2012, Senin (12/4) malam. Rapat berlangsung mulai dari pukul 20.20 dan berakhir pukul 00.00 WIB.
Ketua Badan Legislasi (Banleg) DPRA selaku pimpinan rapat, Iskandar Usman Al-Farlaky, kepada Serambi, Selasa (13/4), mengatakan, pasal yang mengatur syarat dukungan calon independen ini terdapat pada Pasal 24, huruf ‘a’, ‘b’, ‘c’, ‘d’, ‘e’, ‘f’, dan ‘g’.
Pada huruf ‘a’ sebutnya, syarat jumlah dukungan untuk pengajuan bakal calon independen adalah sebesar 3 persen dari jumlah penduduk, yang tersebar sekurang-kurangnya 50 persen dari jumlah kecamatan untuk pemilihan bupati/wakil bupati, atau wali kota/wakil wali kota.
“Pada huruf ‘b’, dukungan itu harus disertai dengan identitas bukti diri dan pernyataan tertulis yang disertai materai. Kemudian pada huruf ‘c’ dikatakan, bukti dukungan bisa berupa KTP, Paspor, SIM, dan identitas kependudukan yang lain,” jelas mantan aktivis mahasiswa ini.
Pernyataan dukungan tertulis itu, sambung Iskandar lagi, sebagaimana diatur pada huruf ‘d’ dan ‘e’, harus ditandatangani atau dibubuhi cap jempol, dibuat secara individu, dilengkapi materai, dan mengetahui keuchik setempat. Daftar nama pendukung itu kemudian ditempelkan di kantor keuchik atau meunasah gampong.
“Setiap pemilih hanya boleh memberikan dukungan kepada satu pasangan calon. Apabila berlebih, maka dinyatakan tidak sah. Terhadap pasangan bakal calon juga akan diberikan sanksi berupa pengurangan sebanyak 10 lembar KTP dukungan,” sebut Iskandar mengutip Pasal 22 huruf ‘f’ dan ‘g’.
Iskandar mengakui bahwa pembahasan tentang syarat pengajuan calon independen kemarin malam sangat alot, sebab sebagian peserta rapat menganggap aturan pada huruf ‘e’ akan memperberat syarat terhadap pengajuan calon independen.
Meski demikian, lanjutnya, semua pihak, baik eksekutif dan legislatif, akhirnya sepakat dengan poin-poin yang telah diatur tersebut. “Kita bukan ingin memperberat, tetapi kita ingin selektif sehingga bakal calon memiliki kapasitas dan integritas yang kuat di mata masyarakat. Tidak asal memberi dukungan, namun memiliki keterikatakan sehingga terpenuhi unsur dikenal dan mengenal masyarakat. Ini akan membawa kapasitas bakal calon independen juga tidak kalah posisi seperti bakal calon yang diusung partai politik,” beber politisi muda ini.
Disamping itu, hal yang juga diperdebatkan adalah ketentuan dalam Pasal 22 huruf ‘b’ dan ‘e’. Dalam pasal 22 huruf ‘b’ disebutkan bahwa salah satu syarat pasangan bakal calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota adalah orang Aceh.
“Hal ini diperdebatkan, itu yang dimaksud ‘orang Aceh’ yang bagaimana? Nah ketentuan ini kemudian diperjelas pada bagian penjelasan, dimana yang dimaksud ‘orang Aceh’ adalah orang yang mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya, yaitu pernah menetap minimal 5 tahun di daerah pemilihan,” jelas Iskandar.
Sementara pada huruf ‘e’ disebutkan, syarat lain yang juga harus dipenuhi oleh bakal calon adalah harus bersedia menjalankan butir-butir MoU Helsinki dan Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). “Kesediaan itu harus dibuktikan dengan surat pernyataan oleh masing-masing pasangan calon,” imbuhnya. (serambinews)